Islam Di Singapura : Mengawali Kajian Tafsir Di Negeri Singa
March 27, 2019
Oleh : Faisal Hilmi, S.Th.I
Sejak 2013, rasa-rasanya ini adalah ke-6 kalinya menginjakkan kaki ke negeri tetangga ini. Negara kota, modern, dan dianggap termaju di Asia Tenggara (Asean). Namun kunjungan kali ini dirasakan hawanya sangat berbeda. Jika sebelumnya visit Singapura karena cultural Program, Study Tour, dan travelling. Kali ini kunjungan ini akan bermakna sekali.
Terminal 4 Changi Airport Singapore, Tempat Penulis Diinterviewe, Immigration Point |
Bukan jalan-jalan yang dicari. Rasanya jika boleh dikatakan, “cukup bosan”, jika travel negara sebesar kota Jakarta di Indonesia ini. Banyak mengulang. Penelitian Tafsir Qur’an yang membuat ini hawanya sangat berbeda. Fokus dan mata memandang sungguh sangat berbeda. Pikiran selalu terngiang “Islam” dan “Tafsir Qur’an”. Dua hal ini saja rasanya yang ingin dicari dan ditemukan. Rihlah ilmiah yang penuh gairah, walau sakit tipes belum penuh sepenuhnya. Semoga Allah sembuhnya sakit ini, dengan niat dan rencana baik di negara, pecahan Malaysia ini.
Setelah mendarat di Changi Airport, setelah 2 jam di pesawat Air Asia. “Diajak main” petugas ke Immigration Point, ditanya sana-sini, di terminal 4 (Insya Allah akan dibuat tulisan ini, apa karena pakai menggunakan peci hitam?). Langsung membeli ezlink 12 dollar Singapura. kartu untuk keliling Singapura dengan MRT. Ada juga kartu Singapore Tourist Past. MRT datang, langsung saja segera masuk.
Hawa Islam ini mulai terasa sebetulnya dari petugas imigrasi. Baik saat sidik jari dan diinterview di ruang khusus, yang ditemui adalah orang Islam, suku Melayu. Dari namanya saja yang tertempel di baju (kanan atas jika tidak salah), nama-nama yang famous di kalangan umat Islam. Misalnya, Abdul Ghofur, Anwar, Rahmat, dan lainnya. Hanya beda dikit di ejaan. Misal di Indonesia tertulis Basyir atau Basir, sedang di Singapura tertulis Basheer. Rasanya di Indonesia, tidak ada nama Basyir, tertulis dengan huruf double “ee” sebelum “r” nya.
Walaupun di Imigrasi Changi ada juga suku India dan China, entahlah apa kebetulan atau memang mayoritas. Pengalaman penulis kali ini, sebagian besar petugas yang muncul adalah suku Melayu, yang biasanya beraga Islam. Nama mereka yang “Islami”, dapat dijadikan salahsatu indikator. Walau penulis tidak menanyakan agama mereka secara langsung.
Tanya-jawab petugas dan penulis juga makin menebalkan hawa Islam di singapura ini. Walau alam bawah sadar mengabarkan, ini adalah negara minoritas Islam sekarang. Pertama, mereka menanyakan, “Apa tujuan Tuan ke sini?”. Penulis langsung jawab, “Join event Singapore Muslim Festival”. Kami ngobrol mix anatara bahasa Indonesia dan Inggris. Indonesia bagi penulis, mungkin bahasa Melayu bagi mereka. Alhamdulillah, schedule acara sudah di print. Segera ambil tas Eiger hitam yang berumur tua, dibeli sejak 2012 join event di Bali, agak susah dikit dan terasa berkarat. “Ini jadwal kegiatannya Tuan.” tambah penulis.
Petugas yang berkisar umur 30 tahun, berkumis, dan tentu masih muda. Jangkung, layaknya penulis. Membuka dengan penuh perhatian lembar demi lembar. Hati penulis bergumam, “Jika saya orang Indonesia tahu event ini, apa iya dia Muslim Singapura tidak tahu?” Insyallah aman dan selamat. Karena bisa dikatakan, acara dan penyelenggra acara adalah Muslim moderat, layaknya kebanyakan Islam di Nusantara.”
Coba tanya saja ah. Biar tidak penasaran. Apakah petugas imigrasi bandara ini tahu. “Mr. tahu Jamiyah, penyelenggra event ini?”. Tanpa lama-lama, sambil tetap memegang jadwal, ia menjawab, “Ia saya tahu.” Alhamdulillah dalam hati. Insya Allah amanlah. Kecuali penulis salah prediksi, “arah” organisasi atau yayasan ini. “Tahu nggak ya, dia acara ini?” tanyaku dalam hati. Namun sudahlah. Nanti barangkali makin panjang.
“Siapa yang membiayai Tuan ikut acara ini?” tanya nya kembali. Sudah lama menunggu di CGK AirAsia telah 20 menit, “hahhh” (tarik nafas dalam-dalam), nambah waktu lagi nih. Udahlah yang penting selamat. “My foundation,” jawabku singkat. “Apa nama foundation you?”, petugas sepertinya memerlukan informasi lengkap. “Anamfal Foundation Sir.”
“Whats, Al-Anfal?”, konfirmasi petugas. Memang bagi pendengar awal, termasuk di Indonesia dan rekan di Mesir, saaat menyebut “Anamfal” terdengar “Al-Anfal”. Karena memang Al-Anfal merupakan salahsatu surat di Al-Qur’an, yang tentu popular di benak Muslim.
“Anamfal Sir,” sambil dieja oleh penulis, “An-Am-Fal”. Terngiang layaknya ngajarin anak TK (hee). Lalu dia mengeluarkan kertas kecil, “Write your foundation.” Penulis pun langsung menulis di kertas isiaan imigrasi masuk tadi ternyata, di space kosongnya: “Anamfal Foundation (Yayasan Qur’an Dampak Positif Global”. Dia langsung komentar setelah membaca, “Oh yayasan Qur’an ya.”.
Penulis jawab, “Selain observasi Singapore Muslim Festival (SMF), saya juga meneliti Tafsir Qur’an yang ditulis dan diterbitkan di Singapura.” Ia kembali bertanya, “Apa yang diajarkan Qur’an di sana (Anamfal)?” Saya jelaskan jika yayasan Anamfal secara umum mengajarkan Qiro’ah, Tahfiz, dan Tafsir. Hawa Islam itu kembali terasa ia mengeja ulang dengan fasih, “Oh ia Qiroah, Tahsin ya, Tahfiz dan Tafsir ya.” Bisa juga ya dia menyebutnya dengan fasih, gumamku dalam hati. Akhirnya keluar juga dari Bandara.
Hotel penulis ada di Little India, cek map yang ada berkeliaran di tengah ruangan tunggu MRT. Ada banyak nama-nama Islam yang tersebar di map MRT ini. Sama halnya tadi di imigrasi ada nama-nama (orang) Islam, di peta ada nama (tempat) yang sangat kental tarasa Arab, yang dapat menjadi indikator Islam. Walau memang, nanti perlu dicek dan dikonfirmasi lagi hipotesis awal ini.
Sebut saja, Aljuneid, dan Arab Street. Nama yang membudaya di kalangan umat Islam itu lebih-lebih jika ditambah seperti daerah bernama Melayu, yang mirip juga Indonesia : Bugis Street, Tanjong Katong, Tanah Merah, Bukit Panjang, Gombak (di KL juga ada), dan bukankah nama Singapura sendiri yang mengandung kata “Singa” itu menunjukan Melayu? Orang Indonesia tentu tahu binatang singa, tanpa perlu diterjemahkan.
Selebihnya banyak menggunakan bahasa Inggris, yang identik (setidaknya saat ini bagi orang awam kebanyakan) gambaran non-Islam. Sebut saja: Bayfront, down town, Prince Edward, Queenstown, Badok North, dan lainnya. Walau suatu saat budaya ini bisa saja berubah, yang identik Inggris atau Barat belum tentu non-Islam. Perubahan budaya semakin banyaknya warga Eropa dan Amerika yang menjadi muallaf berbondong-bondong. Menjadikan agama Islam, yang paling pesat pertumbuhannya di negara “salju” tersebut.
KFC, Bugis Junction, Singapore 27 Maret 2019
Klik untuk tulisan lainnya > Faisal Hilmi, S.Th.I
0 komentar