Membaca VS Memahami Al-Qur'an : Mana yang Didahulukan?
April 11, 2022Saya sering ditanya oleh Jamaah, mana yang paling utama; membaca Al-Quran atau memahami maknanya? “Kenapa anda bertanya demikian”, tanya saya balik kepadanya. “Iya pak Ziyad, sebab kami sering 'diledek' oleh orang-orang dari kelompok tertentu, 'ngapain Al-Quran dibaca-baca terus, yang penting kan dipahami isi-nya', kata mereka," Jelas Penanya.
Membaca VS Memahami Al-Qur'an |
"Iya, komentar itu tak sepenuhnya salah, pun tak semuanya benar. Biasanya, orang yang suka usil dan 'asal njeplak' terhadap saudaranya yang rajin baca Al-Quran itu tak bisa atau bagus bacaan Al-Quran-nya, coba saja”, Sergah saya.
Lalu saya jelaskan, “Ibu-Bapak sekalian, membaca dan memahami Al-Quran adalah dua hal berbeda dan tak perlu dipertentangkan. Masing-masing ada disiplin ilmunya yang perlu untuk dipelajari secara bertahap. Akan sulit memahami Al-Quran bila seseorang tak dapat membaca-nya dengan baik dan benar. Bahkan, nyaris mustahil, seseorang akan dapat mendalami dan menyelami samudra kandungan Al-Quran, bila ia tak sering mengulang-ulang bacaan-nya”.
Lanjut saya, “Kurang paham apa coba, Nabi SAW dalam memahami makna wahyu yang diterima-Nya, tapi beliau selalu membaca Al-Quran. Bahkan intensitas 'ritual' baca Al-Quran-nya bertambah pada bulan Ramadhan. Beliau pun memiliki target nominal bacaan tertentu secara harian yang dikenal dengan istilah hizb atau juz."
Demikian pula para Sahabat Ahli Al-Quran, mereka pun mengikuti jejaknya. Mereka adalah generasi pertama yang paling tahu Al-Quran, toh mereka tetap membaca Al-Quran secara formal. Rata-rata mereka mengkhatamkan Al-Quran dalam satu bulan. Ada juga yang setengah bulan, 10 hari bahkan dalam 7 hari.
Meski Nabi SAW pernah menyarankan agar tidak mengkhatamkan Al-Quran lebih cepat dari 3 hari, namun karena kecintaan yang amat sangat dalam pada kitab suci, para salafunas shalih banyak juga yang punya kebiasaan mengkhatamkan Al-Quran dalam sehari atau dua hari.
Bila ada yang menyanggah, "Lho itu kan Nabi dan para sahabat, mereka sudah paham dan mengerti makna Al-Quran, kita kan orang azam, bukan Arab!”. Maka jawabnya, ”Justru itu, kita yang bukan orang Arab harus melalui tahapan belajar membaca Al-Quran lebih dulu, lalu sering-sering membacanya, baru mulai sedikit-sedikit memahami maknanya. "
Bahkan, bila perlu lebih sering atau dua kali lipat dari target bacaan Nabi dan para sahabatnya. Dan, tak perlu nunggu bacaan bagus dulu, karena itu butuh proses dan waktu yang lama. Jadi, bisa sambil pelan-pelan belajar bahasa Arab untuk dapat memahami Al-Quran. Don’t forget, cari Guru Tafsir lho ya, hindarkan menyimpulkan sendiri dari terjemahan.
Demikian-lah, membaca dan memahami Al-Quran adalah dua sisi yang berbeda dan tak terpisahkan dalam cara berinteraksi dengan Al-Quran. Bila ditanya, mana yang lebih dulu harus dilakukan? Jawabnya, ya belajar membaca dulu. Cari guru baca Al-Quran yang berkompeten; Minimal pernah talaqqy bin nadzr 30 juz-lah, meski tak hafal Al-Quran.
Sebab, di kalangan pelajar ilmu, adalah aib seseorang bicara tentang tafsir Al-Quran, sedang ia tak fasih membaca-nya. Bukan karena lidah-nya, namun bisa diketahui ia tak pernah belajar membaca Al-Quran secara baik dan benar. Proses belajarnya loncat, ibarat anak kecil yang daftar sekolah langsung masuk SMA.
Apalagi untuk membahas dan mengajar tafsir Al-Quran, ada kualifikasi standar kemampuan baca minimal yang harus dipenuhi, diluar syarat sebagai mufassir. Tak harus fasih kayak juara MTQ-lah, minimal tajwid-nya benar. Masak mau bicara tentang sesuatu yang ia pun tak dapat membacanya secara baik, aneh kan? Baca Al-Quran saja pletat pletot, masak mau membahas tafsir Al-Quran.
Malu sama non-Muslim, para Orientalist itu lhoh. Sebelum mengkritik Al-Quran, mereka rela mengorbankan dana besar dan waktu yang lama untuk belajar sungguh-sungguh tentang Al-Quran. Mulai belajar membaca secara baik dan benar dulu, sambil memperdalam bahasa Al-Quran: Arab, sampai fasih. Baru belajar tafsirnya secara mendalam. Padahal niat-nya tidak baik, ingin menjatuhkan Al-Quran.
Tentu, targetnya membuat syubhat (keraguan) tentang Al-Quran di kalangan Muslim awam, mahasiswa alay yang masih labil, kelompok hijrah dan mereka yang masih lemah iman-nya, serta orang-orang yang KTP-nya saja muslim. Adapun pelajar tafsir yang sudah memenuhi kualifikasi standar, ngga ngaruh tuh. Wah ortodok dan radikal dong?
Hhhmmm, ngga juga sih. Sebab, dari disiplin ilmu Al-Quran yang telah dipelajari dan tahapan belajar sistemik yang sudah dilalui, secara akademik kita dapat mengetahui, menganalisa, menguji dan menilai, mana yang valid dan tidak, mana yang dapat diterima dan ditolak.
Saya selalu mengulang-ngulang pesan diatas kepada para mahasiswa/i saya, di program pasca sarjana IIQ Jakarta. Terutama yang S1-nya dari luar IIQ. Terlebih, bagi yang prodi S1-nya dari jurusan non agama. Karena dapat hidayah-nya terlambat, seringkali ada mahasiswa “nyasar”, nekat kuliah langsung di pasca, program Ilmu Al-Quran & Tafsir (IAT) di IIQ, padahal jurusan S1-nya umum. Lalu, salah-nya dimana?
Harusnya, ia kuliah S1 dulu di IIQ, jangan langsung S2. Ngulang S1 dong? Ya iyalah, ngga apa-apa, double degree, bila memang mau serius belajar-nya? Bukan cari legalitas dan legitimasi pernah kuliah di IIQ. Ngga bener tuh.
Apa pasal mulai dari S1? Di program S1 IIQ, terdapat silabus tingkat dasar yang mendukung mahasiswa untuk melanjutkan pendalaman prodi IAT di pasca. Selain itu, ada kurikulum lokal yang hanya ada di S1 IIQ, misalnya; Tilawah dan Tahsin (perbaikan baca AlQuran), Ulumul Quran, Ilm al-Qiraat (ragam bacaan alQuran), Ilm ar-Rasm al Ustmani (tulisan Al-Quran), Ilm an-Naghm (lagu Al-Quran) dan lain-lain.
Di zaman fitnah ini, seperti prediksi para ahli, akan terjadi “death of expertise”. Dan tanda-tanda kematian itu telah nampak adanya, dengan munculnya orang-orang yang bicara di luar kapasitas dan keahlian-nya. Bahkan, siapapun bebas bicara tanpa tahu batasannya. Semoga lidah dan jari kita di jaga Allah SWT dari fitnah akhir zaman ini.
Membaca VS Memahami Al-Qur'an : Mana yang Didahulukan?
0 komentar